Sejarah memperlihatkan bahwa umur rata-rata sebuah imperium berkisar 250 hingga 300 tahun, atau sekitar sepuluh generasi. Meski berbeda tempat, budaya, dan teknologi, pola kehidupan sebuah imperium cenderung serupa. John Glubb dalam The Fate of Empires menjelaskan bahwa sebuah imperium melewati fase-fase yang nyaris sama: lahir, berkembang, makmur, lalu merosot.
Fase pertama disebut Masa Pionir atau Outburst. Imperium biasanya lahir dari kelompok kecil yang dianggap remeh oleh tetangganya. Mereka berani, keras hidup, penuh energi, dan siap berkorban. Dari sini lahir tentara tangguh yang disiplin, karena militer masih merupakan bagian dari rakyat sendiri. Rakyat hidup sederhana, namun bersatu dan rela mati demi kejayaan bersama.
Setelah itu muncul Masa Penaklukan atau Conquest. Imperium berkembang melalui peperangan besar. Tentara menjadi profesional, terorganisir, dan disegani. Keberhasilan militer membawa wilayah baru sekaligus sumber kekayaan. Rakyat mulai merasakan manfaat kemenangan, meski gaya hidup masih sederhana. Pada fase ini, kekuatan militer sangat menonjol dan menjadi penopang utama kejayaan.
Fase berikutnya adalah Masa Perdagangan atau Commerce. Setelah wilayah luas dikuasai, stabilitas memungkinkan perdagangan berkembang. Jalur dagang terbuka, hasil bumi dan barang-barang mewah mengalir, dan kota-kota tumbuh. Tentara masih kuat menjaga perbatasan, sementara rakyat semakin sejahtera. Kemakmuran membawa kemajuan seni, ilmu pengetahuan, dan arsitektur.
Namun, Masa Kemakmuran atau Affluence menjadi titik balik. Kekayaan melimpah menumbuhkan gaya hidup mewah. Orientasi masyarakat bergeser dari keberanian dan pengabdian menjadi mencari kenyamanan dan kekayaan pribadi. Tentara mulai melemah, bahkan sering diganti dengan pasukan bayaran. Rakyat memang hidup sejahtera, tetapi semangat berkorban berkurang. Inilah awal degradasi moral yang perlahan menggerogoti daya tahan imperium.
Kemudian hadir Masa Intelektualisme. Kekayaan memungkinkan investasi besar pada pendidikan, universitas, dan ilmu pengetahuan. Generasi muda lebih mengejar gelar dan status akademik dibandingkan pengabdian. Diskusi, debat, dan retorika berkembang, tetapi sering tidak menghasilkan keputusan nyata. Sementara itu, rasa tanggung jawab dan disiplin melemah. Rakyat lebih sibuk mencari kepuasan pribadi daripada memikirkan kelangsungan negara.
Pada akhirnya, imperium memasuki Masa Kemerosotan atau Decadence. Gejalanya berupa hedonisme, pesimisme, fragmentasi politik, masuknya banyak imigran, serta berkurangnya solidaritas nasional. Tentara semakin lemah, tergantung pada bayaran, sementara rakyat lebih sibuk pada hiburan, olahraga, dan konsumsi. Kesejahteraan yang dulu menjadi kekuatan, berubah menjadi kelemahan karena membuat masyarakat malas dan rapuh.
Akhirnya, imperium mencapai fase keruntuhan. Negara terpecah, tentara kalah dalam perang, dan rakyat pasif. Pada saat itulah bangsa baru yang masih keras, berani, dan disiplin menggantikan peran, mengulang siklus yang sama.
Dari siklus ini terlihat bahwa tentara yang kuat dan rakyat yang sejahtera memang hadir dalam perjalanan imperium. Tentara tangguh mendominasi fase awal hingga penaklukan, sedangkan kesejahteraan rakyat berkembang di fase perdagangan dan kemakmuran. Namun, ketika kesejahteraan berubah menjadi kemewahan dan tentara kehilangan kedisiplinannya, imperium mulai menuju kehancuran.
Kesimpulannya, faktor utama yang membuat imperium mampu bertahan lebih dari tiga abad adalah kombinasi militer yang tangguh, ekonomi yang kuat, solidaritas rakyat, serta nilai pengabdian yang lebih besar daripada kepentingan pribadi. Ketika nilai-nilai itu hilang, sehebat apa pun sebuah imperium, akhirnya akan runtuh.
LINK DOWNLOAD ESSAY: https://drive.google.com/file/d/125jfDUfMvgCbFgY7sk-R6UfGrWDeFWzq/view?usp=sharing